Umat Muslim di seluruh dunia menyambut datangnya 1 Syawal yang kita kenal sebagai Hari Raya Idul Fitri dengan suka cita dan kegembiraan, namun bagi sebagian orang ada juga yang diliputi dengan kecemasan. Gembira karena telah menyelesaikan ibadah Puasa Ramadhan. Cemas karena melihat realita kehidupan bahwa kebutuhan di hari raya tersebut meningkat drastis daripada hari-hari biasanya. Budaya masyarakat yang seakan-akan mengharuskan masyarakat mengenakan baju baru, sepatu baru ataupun keperluan sehari-hari yang dituntut serba baru, menimbulkan budaya konsumtif yang dianggap wajar dan menjadi nilai-nilai positif di kalangan masyarakat.
Bulan Syawal merupakan bulan dimana umat Islam kembali ke fitrahnya setelah menjalani ibadah pada bulan Ramadhan selama sebulan penuh. Bulan ini disebut sebagai bulan kemenangan karena umat Islam telah berjaya melewati segala ujian dan tantangan hawa nafsu di bulan Ramadhan.
Apakah sudah benar kita memperlakukan Syawal sebagaimana mestinya?
Untuk menjawabnya, marilah kita renungkan terlebih dahulu apa hakikat dari ibadah puasa Ramadhan.
Puasa adalah suatu ibadah sirr (tersamar) yang hanya si pelaku dan Allah Swt. sajalah yang tahu. Sehingga tidak salah jika Allah sendirilah yang akan mendedikasikan pahalanya menurut kehendak-Nya tanpa menentukan bentuk pahala yang terukur. Sebagaimana redaksi dalam Hadis Qudsi:
“Puasa adalah bagiku dan aku sendiri yang akan memberikan pahalanya”.
Puasa adalah ibadah yang sudah ada sejak sebelum zaman Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana informasi yang Allah Swt. telah firmankan dalam Alquran. Tujuan utama diwajibkannya ibadah puasa adalah agar kita bisa mencapai derajat taqwa. Suatu pencapaian tertinggi dalam mengarungi kehidupan di dunia ini untuk menggapai kebahagiaan abadi di akhirat nanti. Puasa hakikatnya agar kita mampu mengontrol hawa nafsu kita. Pada bulan Ramadhan inilah kita berpuasa agar segala keinginan nafsu yang liar dapat terkontrol. Puasa juga tidak boleh menjadikan kita kehilangan semangat untuk beribadah dan bekerja.
Pada kenyataannya, ada paradoks yang timbul ketika kita memasuki bulan Ramadhan. Dimana kita tidak diperbolehkan makan dan minum pada siang hari. Akan tetapi menjadikan tingkat konsumsi kita menjadi melonjak. Berbagai data menunjukan bahwa tingkat permintaan akan barang-barang kebutuhan menjadi meningkat sepuluh sampai dua puluh persen seiring masuknya bulan Ramadhan.
Ketika memasuki bulan Ramadhan pemerintah pun seakan-akan memfasilitasi akan kebutuhan masyarakat itu dengan mengeluarkan regulasi berupa anjuran memberikan THR (Tunjangan Hari Raya) kepada masyarakat disamping juga harus mengantisipasinya dengan menjaga stabilitas harga dan ketersediaan barang–barang yang dibutuhkan masyarakat.
Ketika nafsu dan keinginan kita yang seharusnya dikekang namun yang terjadi setelah itu adalah nafsu menjadi lebih liar dari biasanya. Ternyata puasa yang rutin kita kerjakan setiap bulan Ramadhan belum bisa menjadikan kita manusia yang sabar dan istiqamah. Puasa Ramadhan hanya sekedar menjadi ritual saja dengan meninggalkan makam minum dan hal-hal lain yang membatalkan puasa dijadikan topeng ibadah puasa saja.
Ibadah puasa masih hanya sebatas menahan lapar dan haus tanpa mencapai substansi dan esensi yang terdalam dalam puasa itu sendiri. Sebenarnya ibadah puasa dilakukan untuk ikut merasakan kesulitan yang dirasakan oleh saudara-saudara kita yang masih kekurangan. Namun realita yang terjadi adalah sebaliknya.
Bagaimana puasa bisa menggodok jiwa dan hati kita lebih lapang dan mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, jika yang ada di pikiran kita hanya mempersiapkan makanan yang enak untuk berbuka puasa dan mempersiapkan pakaian baru serta kue lebaran?
Bagaimana pula puasa bisa menumbuhkan kepedulian sosial jika kita masih memikirkan kepentingan sendiri?
Perilaku Konsumtif dari umat Islam tersebut dimanfaatkan oleh kaum kapitalis sebagi sebuah peluang besar dalam mencari profit. Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri menjadi masa-masa keemasan dari bisnis mereka. Tingkat permintaan yang tinggi baik itu dalam bulan Ramadhan maupun menjelang lebaran menjadikan kita hanya sebagai konsumen atas produk-produk mereka.
Dengan promosi yang digencarkan ke semua segmen, baik menggunakan berbagai jenis media promosi dengan harapan memperlancar penjualan mereka. Target bisnis mereka jelas agar tingkat konsumsi kita meningkat tajam. Dengan memaknai dan menyemarakkan Hari Raya Idul Fitri yang salah, tentu hanya akan menguntungkan kaum kapitalis tersebut. Namun sebaliknya, masyarakat kita khususnya umat Muslim harus rela memaksakan diri mengeluarkan pendapatannya secara berlebihan dalam menyikapi dan memaknai datangnya hari kemenangan tersebut.
Disinilah sebenarnya kita harus merenungkan kembali apa yang sepatutnya kita lakukan sebagai seorang Muslim dalam menyikapi datangnya hari kemenangan yaitu Hari Raya Idul Fitri tersebut. Hura-hura bukanlah suatu akhlak terpuji. Berbagi kepada sesama Muslim itu jauh lebih baik. (YA)
Penulis: Yusron Ali Sya’bana
Catatan:
Penulis merupakan PNS Pemerintah Kota Medan dan saat ini tengah menempuh Program Doktoral Ekonomi Syariah pada UIN Sumatera Utara, Medan.