Selamat Datang di Penerbit Az-Zahra Media Society
Penerbit Az-Zahra Media SocietyPenerbit Az-Zahra Media SocietyPenerbit Az-Zahra Media Society
(Senin - Sabtu)
zahramedia.society@gmail.com
Percut Sei Tuan, Sumatera Utara
Penerbit Az-Zahra Media SocietyPenerbit Az-Zahra Media SocietyPenerbit Az-Zahra Media Society

MEMBATASI PANDANGAN TERHADAP NIKMAT ORANG LAIN

  • Home
  • Berita
  • MEMBATASI PANDANGAN TERHADAP NIKMAT ORANG LAIN

MEMBATASI PANDANGAN TERHADAP NIKMAT ORANG LAIN

Dr. H. Angga Syahputra
CEO Az-Zahra Group
Akademisi UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe

“Kita perlu membatasi pandangan terhadap nikmat yang diberikan Allah Swt. kepada orang lain, agar selalu menjadi pribadi yang bersyukur”

Kata-kata di atas adalah kalimat yang kami dengar dari seorang muthawwif saat melaksanakan ibadah umrah. Sekilas, terdengar biasa saja, namun ternyata maknanya sangat luas dan relevan dengan masa saat ini.
Islam sebagai agama yang paripurna mengajarkan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat spiritual, sosial, maupun material. Salah satu ajaran penting dalam Islam adalah bagaimana seorang Muslim memandang nikmat yang diberikan Allah kepada orang lain. Pandangan yang salah terhadap nikmat tersebut dapat menjerumuskan seseorang ke dalam penyakit hati seperti iri (ḥasad), dengki, bahkan kufur terhadap nikmat yang telah diberikan Allah Swt.


Pandangan Alquran dan Hadis

“Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. An-Nisā’ [4]: 32

Ayat ini menunjukkan bahwa perbedaan nikmat, baik berupa harta, ilmu, jabatan, maupun kedudukan, merupakan sunnatullah. Setiap hamba memiliki bagian masing-masing sesuai dengan takdir dan usaha mereka. Oleh karena itu, Islam melarang umatnya membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

Rasulullah ﷺ juga memperingatkan bahaya iri dalam sebuah Hadis:
Dari Abu Hurairah Ra. ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Kalian jangan saling mendengki, jangan saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi! Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu disini –beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas Muslim lainnya.” (HR. Muslim No. 2564)

Namun, pada sisi lain Rasulullah ﷺ membolehkan bentuk “iri positif” yang disebut ghibṭah, yakni keinginan memiliki kebaikan seperti yang dimiliki orang lain tanpa berharap nikmat itu hilang darinya. Sebagaimana sabda Beliau Saw:
Dari Ibnu ‘Umar Ra., Nabi Saw. bersabda, “Tidak boleh hasad kecuali pada dua perkara: seseorang yang diberikan kepandaian Alquran oleh Allah, lalu ia membaca dan mengamalkannya pada malam dan siang hari, dan seseorang yang diberi harta oleh Allah, lalu ia menginfakkannya pada malam dan siang hari.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari, no. 5025 dan Muslim, no. 815).

Dengan demikian, batasan Islam dalam memandang nikmat orang lain adalah menghindari hasad dan hanya membolehkan ghibṭah pada hal-hal yang terkait dengan amal saleh.


Dimensi Teologis: Takdir dan Keadilan Allah

Islam memandang bahwa segala nikmat yang dimiliki seseorang adalah bagian dari takdir Allah. Pembagian rezeki bukanlah bentuk ketidakadilan, melainkan bukti kebijaksanaan Allah dalam mengatur kehidupan manusia.
Allah Swt. berfirman dalam QS. Az-Zukhruf [43]: 32:
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan nikmat adalah sarana interaksi sosial. Orang kaya membutuhkan pekerja, sementara pekerja membutuhkan pengusaha. Begitu pula, orang yang berilmu dibutuhkan masyarakat, sementara ia juga memerlukan dukungan umat. Dengan demikian, membatasi pandangan terhadap nikmat orang lain bukanlah sekadar etika, melainkan bentuk pengakuan terhadap keadilan dan kebijaksanaan Allah.


Dimensi Etis: Menjaga Hati dan Hubungan Sosial

Dari sisi etis, membatasi pandangan terhadap nikmat orang lain adalah bentuk penjagaan hati. Hasad dapat merusak amal dan menimbulkan permusuhan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Hati-hatilah kalian terhadap hasad, karena sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Dawud)

Dalam konteks sosial, iri terhadap nikmat orang lain dapat menimbulkan berbagai konflik, ghibah, fitnah, bahkan kriminalitas. Sebaliknya, jika seseorang membatasi pandangannya, ia akan mampu menghargai keberhasilan orang lain, mendoakan kebaikan, serta memperkuat ikatan persaudaraan.


Perspektif Ulama Klasik dan Kontemporer

Ulama Klasik
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyebutkan bahwa hasad muncul dari kelemahan iman dan cinta dunia. Menurutnya, cara mengobati hasad adalah dengan menyadari bahwa nikmat duniawi bersifat fana, sementara kebahagiaan sejati terletak pada ridha Allah.
Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam Madarij as-Salikin menekankan bahwa hasad adalah penyakit hati yang merugikan pelakunya lebih daripada orang yang dihasadi. Ia menegaskan bahwa solusi terbaik adalah memperbanyak doa untuk orang lain serta melatih hati dengan syukur.

Ulama Kontemporer
Yusuf al-Qaradhawi menekankan pentingnya membatasi pandangan dalam era modern, khususnya di tengah budaya kapitalisme dan hedonisme. Menurutnya, masyarakat Muslim harus dididik untuk memahami konsep qana’ah (merasa cukup) agar tidak terjerat iri terhadap gaya hidup konsumtif.
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah juga menjelaskan bahwa QS. An-Nisa’ 32 bukan hanya larangan hasad, tetapi juga motivasi untuk berusaha dan berdoa memohon karunia Allah. Artinya, Islam tidak melarang ambisi, tetapi membatasi agar ambisi itu tidak berubah menjadi iri dan dengki.


Realita dalam Kehiduapan Modern

  1. Media Sosial dan Budaya Pamer
    Media sosial kini menghubungkan setiap individu dimana pun berada – “Connecting the world” – sayangnya banyak pula kepalsuan dalam berbagai aktivitas individu. Media sosial sering menjadi sumber perbandingan yang tidak sehat, padahal belum tentu apa yang diposting sesuai dengan realita kehidupan dari yang memposting. Islam hadir dalam mengajarkan diri untuk membatasi pandangan, tidak mudah iri pada postingan orang lain, guna menghindari penyakit hati.

  2. Lingkungan Pekerjaan
    Dalam dunia kerja, perbedaan jabatan dan gaji sering memicu iri, belum lagi gaya hidup berbagai rekan kerja yang acap kali menjadi bahan pembicaraan. Islam menekankan keadilan usaha: setiap orang mendapat balasan sesuai kerja kerasnya.

  3. Pendidikan dan Ilmu
    Membatasi pandangan bukan berarti pasif, melainkan mendorong ghibṭah yang positif. Misalnya, iri kepada ulama atau penghafal Alquran agar kita termotivasi menuntut ilmu.

  4. Kehidupan Ekonomi
    Alih-alih iri pada orang kaya, Islam mendorong untuk bekerja keras, bersedekah, dan memohon rezeki halal. Keterbatasan dalam ekonomi pun mengajarkan setiap individu untuk tak lekang bersyukur, sementara bagi yang kelebihan harta diwajibkan berbagi.


Menjaga Hati dengan Syukur dan Qana’ah

Syukur adalah obat dari segala problematika yang kita hadapi hari ini. Dengan bersyukur, seseorang akan menyadari bahwa nikmat yang ia miliki adalah sangat luas untuk kebahagiaannya. Allah Swt. berfirman dalam QS. Ibrahim [14]: 7:
“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Selain itu, qana’ah—merasa cukup dengan pemberian Allah—merupakan kekayaan batin yang menjauhkan seseorang dari berbagai penyakit hati. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Reflektif-Spiritual

Membatasi pandangan terhadap nikmat yang diberikan Allah Swt. kepada orang lain adalah bentuk penjagaan terhadap hati, dan upaya membatasi diri terjerumus dari dosa lain seperti penyakit ghibah, iri, dengki, serta masalah sosial lainnya, seperti melakukan tindakan korupsi maupun prilaku amoral lainnya. Alquran dan Hadis menegaskan larangan hasad, sekaligus mendorong umat untuk memiliki ambisi positif (ghibṭah) dalam kebaikan. Perspektif ulama klasik dan kontemporer menekankan bahwa solusi terbaik adalah dengan syukur, qana’ah, doa, dan usaha.

Dunia ini sangat luas dan begitu kompleks, media sosial, dunia kerja dan lingkungan sosial adalah bagian-bagian kecil yang terkadang sama sekali tidak merepresentasikan apa yang terjadi sebenarnya. Dalam konteks modern, kajian ini semakin relevan bagi kita untuk menghadapi tantangan media sosial, persaingan kerja, serta gaya hidup yang semakin konsumtif. Dengan membatasi pandangan terhadap nikmat orang lain, seorang Muslim akan lebih tenang, fokus pada pengembangan diri, serta dekat dengan Allah. Inilah salah satu kunci kebahagiaan sejati dalam Islam.

Catatan:

Tulisan ini telah terbit di Harian Analisa pada 26 September 2025, di halaman 5.