Selamat Datang di Penerbit Az-Zahra Media Society
Penerbit Az-Zahra Media SocietyPenerbit Az-Zahra Media SocietyPenerbit Az-Zahra Media Society
(Senin - Sabtu)
zahramedia.society@gmail.com
Percut Sei Tuan, Sumatera Utara
Penerbit Az-Zahra Media SocietyPenerbit Az-Zahra Media SocietyPenerbit Az-Zahra Media Society

PENGGUNAAN AI DALAM PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH, BOLEHKAH?

  • Home
  • Berita
  • PENGGUNAAN AI DALAM PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH, BOLEHKAH?

PENGGUNAAN AI DALAM PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH, BOLEHKAH?

Oleh: Dr. Angga Syahputra (Akademisi UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe)

Penggunaan kecerdasan buatan (AI) semakin meluas di berbagai bidang, termasuk dalam dunia akademik dan penulisan karya tulis ilmiah. AI menawarkan potensi besar untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam proses penulisan, namun muncul pula pertanyaan etis dan metodologis terkait penggunaannya.

 

Sejarah Kecerdasan Buatan (AI)

  1. Akar Konseptual (Sebelum 1950-an)

Gagasan tentang mesin cerdas telah muncul sejak zaman kuno. Mitologi Yunani, misalnya, menceritakan tentang makhluk buatan seperti Talos. Namun, fondasi ilmiah AI mulai terbentuk dari karya filsuf dan matematikawan seperti Leibniz, Boole, dan Turing, yang memperkenalkan logika simbolik dan mesin hitung.

  1. Era Awal dan Optimisme (1950–1970-an)
  • 1950 – Alan Turing menerbitkan makalah “Computing Machinery and Intelligence” dan memperkenalkan Tes Turing.
  • 1956 – Istilah “Artificial Intelligence” resmi digunakan pada Dartmouth Conference, diprakarsai oleh John McCarthy, Marvin Minsky, Claude Shannon, dan Allen Newell.
  • AI awal difokuskan pada logika simbolik dan pemecahan masalah sederhana seperti permainan catur dan teka-teki matematika.
  1. Musim Dingin AI (1970–1980-an)

Ekspektasi tinggi tidak diiringi kemajuan signifikan. Komputasi terbatas dan kegagalan proyek ambisius menyebabkan “AI Winter”, yaitu periode menurunnya pendanaan dan minat terhadap riset AI.

  1. Bangkitnya Sistem Pakar (1980–1987)
  • Kemunculan sistem pakar seperti MYCIN dan XCON yang meniru keputusan pakar manusia di bidang medis dan teknik.
  • AI mulai diterapkan di industri, meski masih terbatas pada aturan tetap (rule-based systems).
  1. AI Kembali Terpuruk (1987–1993)

Terulangnya kegagalan sistem pakar dalam skala besar menyebabkan AI Winter kedua, ditandai dengan penurunan pendanaan R&D.

  1. Kebangkitan Melalui Pembelajaran Mesin (1990–2000-an)
  • Muncul pendekatan Machine Learning (ML) dan Probabilistic Reasoning, seperti Algoritma Bayesian Networks dan Support Vector Machines (SVM).
  • 1997 – Komputer IBM Deep Blue mengalahkan juara dunia catur Garry Kasparov.
  1. Era Deep Learning dan Revolusi Modern (2010–sekarang)
  • 2012 – Terobosan oleh tim AlexNet di kompetisi ImageNet menunjukkan kemampuan luar biasa dari deep learning.
  • 2016 – Program AlphaGo dari DeepMind mengalahkan pemain profesional Go.
  • AI mulai digunakan secara luas di bidang visi komputer, pemrosesan bahasa alami (NLP), kendaraan otonom, dan robotika.
  • 2022–2024 – Popularitas sistem generatif AI seperti ChatGPT, DALL·E, dan Midjourney meningkat drastis, mengubah lanskap kreatif dan produktivitas digital.

 

Aspek Etis dan Kejujuran

Pertanyaan etis muncul terkait dengan kejujuran intelektual dalam penulisan karya tulis ilmiah. Meskipun kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT dapat membantu dalam penyusunan draf, analisis literatur, maupun penulisan teknis, kejujuran penulis dalam mengakui kontribusi AI menjadi hal yang krusial. Penggunaan AI perlu diiringi dengan transparansi dan tanggung jawab akademik agar tidak terjadi pelanggaran etika, termasuk plagiarisme dan pelanggaran hak kekayaan intelektual.

Secara hukum di Indonesia, belum ada regulasi yang secara khusus melarang atau melegalkan penggunaan AI dalam karya ilmiah. Namun, terdapat beberapa regulasi yang menjadi acuan penting, antara lain:

  1. Prinsip Kejujuran Akademik

Berdasarkan Permendiknas No. 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi:

  • Setiap karya ilmiah harus bebas dari plagiarisme.
  • Jika AI digunakan, maka sumber ide, referensi, dan kontribusi AI harus dicantumkan dengan jelas.
  • Mahasiswa atau peneliti tetap wajib menyusun, mengedit, dan bertanggung jawab atas keseluruhan isi karya tersebut.
  1. Hak Cipta dan Kekayaan Intelektual Mengacu pada UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta:
  • Karya ilmiah dilindungi hukum apabila diciptakan oleh manusia sebagai subjek hukum.
  • AI tidak memiliki kedudukan hukum untuk menjadi pemilik hak cipta.
  • Maka, tanggung jawab atas orisinalitas dan isi karya tetap berada di tangan penulis manusia, walaupun sebagian proses kreatifnya dibantu AI.
  1. Pedoman Internal Perguruan Tinggi

Beberapa perguruan tinggi di Indonesia seperti UI, UGM, dan ITB telah merilis pedoman etis pemanfaatan AI, antara lain:

  • AI diperbolehkan digunakan hanya sebagai alat bantu.
  • AI tidak dapat dijadikan sumber primer karena bukan entitas akademik.
  • Karya ilmiah tetap harus ditulis dan dipertanggungjawabkan oleh manusia sepenuhnya.
  1. SE Kemenkominfo No. 9 Tahun 2023 tentang Etika Pemanfaatan Kecerdasan Buatan

Surat Edaran ini diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai pedoman etika (soft regulation) dalam penggunaan AI. Beberapa poin penting yang relevan dengan konteks penulisan akademik meliputi:

  • Nilai-nilai Etika AI: Setiap penggunaan AI harus menjunjung tinggi kemanusiaan, transparansi, keamanan, akuntabilitas, dan inklusivitas.
  • AI sebagai alat bantu: AI hanya diperbolehkan sebagai pendukung proses berpikir manusia, bukan pengambil keputusan akhir atau pengganti kreativitas intelektual.
  • Pengungkapan penggunaan AI: Dalam dokumen yang dipublikasikan, pengguna wajib menyatakan secara terbuka penggunaan AI.
  • Akuntabilitas: Tanggung jawab atas seluruh isi, dampak, dan risiko penggunaan AI tetap berada di tangan pengguna manusia.
  • Perlindungan data dan hak cipta: Harus dipastikan tidak terjadi pelanggaran terhadap privasi, keamanan informasi, dan hak kekayaan intelektual pihak lain.

 

Dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip di atas, maka penggunaan AI dalam penulisan karya ilmiah tidak dilarang, namun harus dilakukan secara etis, transparan, dan bertanggung jawab. Penulis perlu menyatakan kontribusi AI secara eksplisit, tetap menjaga orisinalitas ide, serta mematuhi seluruh ketentuan hukum dan etika akademik yang berlaku di Indonesia. Penyesuaian dengan SE Kemenkominfo No. 9 Tahun 2023 dapat menjadi pedoman nasional yang mengisi kekosongan regulasi formal, sekaligus menjadi dasar moral bagi dunia akademik dalam era digital ini.

 

Pandangan Islam terhadap penggunaan AI dalam penulisan karya ilmiah dapat dijelaskan melalui prinsip-prinsip etika Islam, terutama yang berkaitan dengan amanah ilmiah, kejujuran (ṣidq), niat (niyyah), dan tanggung jawab (mas’uliyyah). Penjelasannya adalah sebagai berikut:

  1. Prinsip Kejujuran dan Amanah Ilmiah

Dalam Islam, menulis karya ilmiah adalah bentuk ibadah berbasis ilmu yang harus dilandasi niat baik dan integritas:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok” (QS. Al-Hasyr: 18).

  • Jika AI digunakan hanya sebagai alat bantu (misalnya menyusun struktur, merangkum literatur, atau koreksi tata bahasa), maka hukumnya boleh.
  • Namun jika AI digunakan untuk menyusun keseluruhan isi tanpa kontribusi intelektual dari penulis, maka ini dapat dikategorikan sebagai tadlis (penyamaran fakta) dan gharar (ketidakjelasan kontribusi) — hal ini dilarang dalam Islam.
  1. Tidak Melanggar Prinsip Plagiarisme

Islam melarang mengambil karya orang lain tanpa izin atau tanpa menyebut sumber:

“Barangsiapa menipu kami, maka ia bukan golongan kami” (HR. Muslim).

  • Jika AI mengutip atau mengambil dari sumber lain tanpa menyebutkan asalnya (misalnya ChatGPT memberikan informasi tanpa referensi jelas), dan penulis mengklaimnya sebagai milik pribadi, maka ini bisa termasuk ghulūl (penggelapan ilmiah).
  • Maka dari itu, penggunaan AI harus dibarengi dengan tanggung jawab akademik dan klarifikasi sumber.
  1. AI Tidak Memiliki Akal dan Niat

Dalam Islam, amal dan ilmu yang bernilai adalah hasil dari ijtihad, akal, dan niat manusia. Karena AI tidak memiliki niat, maka AI tidak bisa dianggap sebagai pelaku amal atau mujtahid.

“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka, hakikat karya ilmiah yang sepenuhnya ditulis oleh AI tanpa proses berpikir dari manusia akan kehilangan nilai keilmuan dan spiritualitas amal dalam perspektif Islam.

 

Rekomendasi Ulama dan Akademisi Muslim

Beberapa ulama dan akademisi Muslim kontemporer menyarankan agar:

  1. Penggunaan AI dalam penelitian harus disertai dengan pengakuan yang jujur.
  2. Tetap menjadikan AI sebagai khadim (pelayan) bukan pengganti akal manusia.
  3. Peneliti Muslim harus menjaga niat tulus dan integritas ilmiah, karena karya ilmiah dalam Islam juga bernilai amal.